Beranda | Artikel
Fikih Transaksi Gadai (Bag.1) : Definisi, Hukum, dan Dalil Pensyariatannya
Sabtu, 11 Mei 2024

Gadai merupakan suatu transaksi yang bisa dikatakan saat ini sedang banyak dilakukan di Indonesia. Dilansir dari sebuah berita, kurang lebih ada dua puluh empat juta orang melakukan transaksi gadai per dua ribu dua puluh empat.[1] Keuntungan yang diraup oleh pemilik usaha gadai pun kian meroket. Sehingga banyak orang-orang yang tertarik untuk membuka usaha gadai, mengingat keuntungan yang sangat menggiurkan.

Tentunya, agama Islam telah mengatur segala bentuk muamalah terhadap harta. Satu di antara banyaknya muamalah yang diatur oleh agama Islam adalah berkaitan dengan transaksi gadai. Sehingga, kaum muslimin dituntut untuk mempelajari tentang transaksi ini dengan dilandaskan ilmu yang diajarkan agama Islam.

Sebelum beranjak lebih jauh tentang transaksi gadai ini, tentunya harus diketahui terlebih dahulu tentang pengertian transaksi gadai itu sendiri.

Definisi transaksi gadai[2]

Secara bahasa, dalam bahasa Arab gadai biasa disebut dengan ar-rahn. Secara bahasa, ar-rahn biasa didefinisikan dengan ats-tsubut wa ad-dawam (sesuatu yang tetap dan konsisten). Orang Arab biasa mengatakan نِعْمَةٌ رَاهِنَة artinya “Kenikmatan yang langgeng.”

Terkadang ar-rahn juga biasa disebut dengan al-habs yang artinya tertahan.  Dalil dari makna ini adalah firman Allah Ta’ala,

كُلُّ ٱمۡرِىِٕۭ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ۬

Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.” (QS. Ath-Thur: 21)

كُلُّ نَفۡسِۭ بِمَا كَسَبَتۡ رَهِينَةٌ

Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya.” (QS. Al-Muddatsir: 38)

Sehingga, amalan ataupun tanggung jawab tersebut membuatnya tertahan dan terikat. Dari sini, jelaslah makna ar-rahn secara bahasa adalah sesuatu yang tetap ataupun tertahan.

Secara istilah, makna ar-rahn atau transaksi gadai adalah menjadikan suatu barang yang bernilai atau berharga sebagai jaminan untuk berutang.

Gambaran secara umumnya, ada seseorang yang ingin berutang kepada orang lain. Kemudian orang yang berutang memberikan kepada orang yang diutangi suatu barang ataupun hewan. Yang mana barang atau hewan tersebut sifatnya tertahan di tangan orang yang mengutangi sampai orang yang berutang menyelesaikan utangnya terlebih dahulu. Inilah gambaran transaksi gadai menurut syariat Islam.

Sehingga, dalam transaksi gadai, setidaknya ada tiga rangkaian yang harus terpenuhi:

Pertama: Ar-Rahn/ Al-Marhun (Barang jaminan).

Kedua: Ar-Rahin (Pemilik barang jaminan/ Pengutang).

Ketiga: Al-Murtahin (Pemegang barang jaminan / Pemberi utang).

Hukum transaksi gadai[3]

Hukum transaksi gadai dalam Islam

Hukum transaksi gadai dalam Islam diperbolehkan tanpa adanya perselisihan. Tentunya selama transaksi berjalan sesuai koridor syariat dan tidak keluar darinya. Transaksi gadai atau menjaminkan suatu barang dalam berutang tidak disebutkan hal yang wajib, karena perintah yang terdapat dalam nash tidak menunjukkan perintah wajib, akan tetapi perintah yang sifatnya memberikan solusi.

Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala dalam ayat utang,

وَإِن كُنتُمۡ عَلَىٰ سَفَرٍ۬ وَلَمۡ تَجِدُواْ كَاتِبً۬ا فَرِهَـٰنٌ۬ مَّقۡبُوضَةٌ۬‌ۖ فَإِنۡ أَمِنَ بَعۡضُكُم بَعۡضً۬ا فَلۡيُؤَدِّ ٱلَّذِى ٱؤۡتُمِنَ أَمَـٰنَتَهُ ۥ وَلۡيَتَّقِ ٱللَّهَ رَبَّهُ ۥ‌ۗ

Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Rabbnya…” (QS. Al-Baqarah: 283)

Dari ayat di atas, dapat diketahui bahwa transaksi gadai sifatnya boleh, tidak sampai wajib. Karena perintah dalam ayat ini sifatnya memberikan solusi. Dan perintah pada ayat ini ada setelah terdapat uzur, berupa tidak adanya penulis utang, mengingat di zaman dahulu tidak semua orang bisa menulis.

Sebagai ganti dari tidak adanya penulis utang, maka dijadikanlah barang jaminan untuk berutang. Hukum dari menulis utang sendiri bukanlah perkara wajib. Dari sini, para ulama mengambil kesimpulan bahwa menggadaikan barang untuk berutang bukanlah hal yang wajib pula.

Kendati tidak ada barang gadai yang dapat dijadikan sebagai jaminan, orang yang berutang hendaknya bertakwa kepada Allah Ta’ala. Ia tetap harus menunaikan amanahnya untuk berusaha membayar utang tersebut.

Hukum transaksi gadai di Indonesia

Sebagai pengetahuan, di negara kita pun terdapat undang-undang yang mengatur transaksi gadai. Di Indonesia, hukum mengenai gadai diatur melalui beberapa peraturan. Berdasarkan pasal 1150 KUHP, terdapat beberapa unsur gadai, yaitu:

Pertama: Hak yang diperoleh kreditur atas benda bergerak.

Kedua: Benda bergerak itu diserahkan oleh debitur kepada kreditur.

Ketiga: Penyerahan benda tersebut untuk jaminan utang.

Keempat: Hak kreditur adalah pelunasan piutangnya dengan kekuasaan melelang benda jaminan apabila debitur tidak membayar.

Kelima: Pelunasan tersebut didahulukan dari kreditur-kreditur lain.

Keenam: Biaya-biaya lelang dan pemeliharaan benda jaminan dilunasi lebih dahulu dari hasil lelang sebelum pelunasan piutang.[4]

Dalil pensyariatan transaksi gadai

Dalil Al-Qur’an

Di antara dalilnya sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Allah Ta’ala berfirman,

وَإِن كُنتُمۡ عَلَىٰ سَفَرٍ۬ وَلَمۡ تَجِدُواْ كَاتِبً۬ا فَرِهَـٰنٌ۬ مَّقۡبُوضَةٌ۬‌ۖ

Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)….”(QS. Al-Baqarah: 283)

Dalil As-Sunnah

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

الظَّهْرُ يُرْكَبُ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ نَفَقَتُهُ

Binatang kendaraan boleh dikendarai jika hewan itu digadaikan dan susunya boleh diminum jika ia digadaikan dan bagi orang yang menunggang dan meminumnya wajib memberi nafkah.”[5]

Dari Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اشْتَرَى مِنْ يَهُودِيٍّ طَعَامًا إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ وَارْتَهَنَ مِنْهُ دِرْعًا مِنْ حَدِيدٍ

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah membeli makanan dari orang Yahudi (dengan pembayaran di belakang dengan ketentuan waktu tertentu) dan beliau gadaikan baju besi beliau (sebagai jaminan).[6]

Inilah di antara dalil-dalil disyariatkannya transaksi gadai.

Kesimpulan

Kesimpulan dari pembahasan ini:

Pertama: Transaksi gadai adalah termasuk transaksi yang diperbolehkan dalam agama Islam dan juga negara.

Kedua: Transaksi gadai merupakan kemudahan dari Allah untuk hamba-hamba-Nya. Kemudahan bagi yang berutang maupun yang diutangi.

Ketiga: Hukum dari transaksi gadai adalah mubah atau boleh. Tidak sampai wajib.

Keempat: Transaksi gadai bisa dikatakan adalah transaksi yang banyak digandrungi saat ini oleh masyarakat Indonesia. Sehingga, mereka sangat butuh untuk mengetahui hukum-hukum yang berkaitan dengan transaksi gadai ini.

Kelima: Orang-orang yang melakukan transaksi utang piutang atau transaksi gadai hendaknya bertakwa kepada Allah. Sebagaimana yang telah disebutkan pada ayat di atas.

Demikian pembahasan awal dari transaksi gadai. Adapun perincian tentang gadai akan insyaAllah akan berlanjut di tulisan selanjutnya.

Semoga bermanfaat.

Wallahul muwaffiq.

Depok, 22 Syawal 1445 H / 1 Mei 2024

***

Penulis: Zia Abdurrofi


Artikel asli: https://muslim.or.id/93551-fikih-transaksi-gadai-bag-1-definisi-hukum-dan-dalil-pensyariatannya.html